Hal yang paling sulit kita lakukan adalah mengalahkan musuh terbesar kita yaitu diri kita sendiri. Jika kita sudah dapat mengalahkan dan mengendalikan diri kita sendiri, berarti kita sudah mencapai tahap kecerdasan spiritual yang tinggi. Mengalahkan dan mengendalikan diri sendiri bukanlah sebuah peristiwa, tetapi sebuah kebiasaan dan kedisiplinan yang harus kita lakukan setiap hari.
Seseorang disebut ”kuat” ketika dia sudah menemukan cara untuk mengalahkan dan mengendalikan dirinya. Inilah hal yang kita sadari sangat kurang dalam diri kita. Mengalahkan dan mengendalikan diri, menurut JFC Fuller, seorang jenderal pada angkatan bersenjata Inggris, menunjukkan kebesaran karakter seseorang. Mengendalikan orang lain hanya menunjukkan sebagian kebaikan karakter kita. Jadi salah satu komponen yang penting dalam memperkaya kehidupan spiritual kita adalah pengendalian diri, yaitu mengalahkan musuh terbesar yaitu diri kita sendiri.
Lao Tsu, filsuf Cina, pernah mengatakan, ”Menundukkan orang lain membutuhkan tenaga. Menundukkan diri kita sendiri membutuhkan kekuatan.” Ternyata lebih mudah bagi kita untuk menundukkan orang lain daripada menundukkan diri sendiri. Seperti kita ketahui bahwa salah satu anugerah Tuhan kepada manusia adalah kesadaran diri (self awareness). Hal ini berarti kita memiliki kekuatan untuk mengendalikan diri. Kesadaran diri membuat kita dapat sepenuhnya sadar terhadap seluruh perasaan dan emosi kita. Dengan senantiasa sadar akan keberadaan diri, kita dapat mengendalikan emosi dan perasaan kita.
Namun seringkali kita ”lupa” diri, sehingga lepas kendali atas emosi, perasaan dan keberadaan diri kita. Oleh karena itu agar dapat mengendalikan dan menguasai diri, kita harus senantiasa membuka kesadaran diri kita melalui upaya memasuki alam bawah sadar (frekuensi gelombang otak yang rendah) maupun suprasadar melalui meditasi.
Dimensi Pengendalian Diri
Mengalahkan diri sendiri memiliki dua dimensi yaitu mengendalikan emosi dan disiplin. Mengendalikan emosi berarti kita mampu mengenali/memahami serta mengelola emosi kita, sedangkan kedisiplinan adalah melakukan hal-hal yang harus kita lakukan secara ajeg dan teratur dalam upaya mencapai tujuan atau sasaran kita.
a. Mengendalikan Emosi
Kecerdasan emosi merupakan tahapan yang harus dilalui seseorang sebelum mencapai kecerdasan spiritual. Seseorang dengan Emotional Quotient (EQ) yang tinggi memiliki fondasi yang kuat untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual. Seringkali kita menganggap bahwa emosi adalah hal yang begitu saja terjadi dalam hidup kita. Kita menganggap bahwa perasaan marah, takut, sedih, senang, benci, cinta, antusias, bosan, dan sebagainya adalah akibat dari atau hanya sekedar respons kita terhadap berbagai peristiwa yang terjadi pada kita.
Menurut definisi Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Sedangkan Anthony Robbins (penulis Awaken the Giant Within) menunjuk emosi sebagai sinyal untuk melakukan suatu tindakan.
Di sini dia melihat bahwa emosi bukan akibat atau sekedar respons tetapi justru sinyal untuk kita melakukan sesuatu. Jadi dalam hal ini ada unsur proaktif, yaitu kita melakukan tindakan atas dorongan emosi yang kita miliki. Bukannya kita bereaksi atau merasakan perasaan hati atau emosi karena kejadian yang terjadi pada kita.
b. Menguasai Diri dan
Kedisiplinan
Kata ‘disiplin’ atau ‘self-control’ berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata yang berarti ”menggenggam” atau ”memegang erat”. Kata ini sesungguhnya menjelaskan orang yang bersedia menggenggam hidupnya dan mengendalikan seluruh bidang kehidupan yang membawanya kepada kesuksesan atau kegagalan. John Maxwell mendefinisikan ‘disiplin’ sebagai suatu pilihan dalam hidup untuk memperoleh apa yang kita inginkan dengan melakukan apa yang tidak kita inginkan. Setelah melakukan hal yang tidak kita inginkan selama beberapa waktu (antara 30 – 90 hari), ‘disiplin’ akhirnya menjadi suatu pilihan dalam hidup untuk memperoleh apa yang kita inginkan dengan melakukan apa yang ingin kita lakukan sekarang!! Saya percaya kita bisa menjadi disiplin dan menikmatinya setelah beberapa tahun melakukannya.
Berikut saya mengutip tulisan John Maxwell tentang disiplin diri yang merupakan syarat utama bagi seorang pemimpin:
All great leaders have understood that their number one responsibility was for their own discipline and personal growth. If they could not lead themselves, they could not lead others. Leaders can never take others farther than they have gone themselves, for no one can travel without until he or she has first travel within. A leader can only grow when the leader is willing to ‘pay the price’ for it.
Dalam buku Developing the Leader Within You, John Maxwell menyatakan ada dua hal yang sangat sukar dilakukan seseorang. Pertama, melakukan hal-hal berdasarkan urutan kepentingannya (menetapkan prioritas). Kedua, secara terus-menerus melakukan hal-hal tersebut berdasarkan urutan kepentingan dengan disiplin.
Berikut beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk meningkatkan disiplin diri:
1. Tetapkan tujuan atau target yang ingin dicapai dalam waktu dekat.
2. Buat urutan prioritas hal-hal yang ingin kita lakukan.
3. Buat jadwal kegiatan secara tertulis (saya selalu menempelkan jadwal kegiatan saya di dinding depan meja kerja saya di rumah).
4. Lakukan kegiatan sesuai dengan jadwal yang kita buat, tetapi jangan terlalu kaku. Jika perlu, kita dapat mengubah jadwal tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi.
5. Berusahalah untuk senantiasa disiplin dengan jadwal program kegiatan yang sudah kita susun sendiri. Sekali kita tidak disiplin atau menunda kegiatan tersebut, akan sulit bagi kita untuk kembali melakukannya.
Melalui pengendalian emosi, penguasaan diri dan kedisiplinan kita dapat lebih memahami diri kita dan bagaimana cara memanfaatkan potensi luar biasa dalam diri kita sehingga kita menjadi manusia yang lebih cerdas secara spiritual. Namun, semua ini tidak akan ada artinya jika kita tidak melakukan sesuatu. Kita harus melakukan sesuatu untuk mencapai kehidupan yang berkelimpahan dan berkualitas, karena hanya kita sendiri yang dapat mengubah kehidupan kita.
PRINSIP-PRINSIP BERFIKIR
Dr. Edward de Bono menurunkan dua belas prinsip berfikir:
1.Sentiasa bersikap konstruktif:
Ramai orang percaya cara berfikir yang terbaik ialah cara kritikal. Ini membuat mereka suka membuktikan apa-apa saja yang orang lain buat atau katakan adalah salah dan perlu dibetulkan atau ditolak saja. Inai habit yang negatif. Pemikiran kritikal tidak mencipta apa- apa. Ia hanya boleh membuktikan sama ada sesuatu perkara itu betul atau salah. Ini tidak cukup. Kita perlu bersikap positif dan konstruktif.
2. Fikir perlahan-lahan dan fikir secara simpel:
Fikir perlahan-lahan bukan bermakna berfikir lambat-lambat. Banyak boleh kita fikir apabila kita berfikir perlahan-lahan. Kita patut berfikir dengan cepat-cepat apabila dalam keadaan cemas sahaja. Sentiasa berfikir secara simpel dan mudah. Jangan suka menyusah-nyusahkan perkara elok apabila kita hendak tunjuk pandai pada orang lain.
3.Lupakan ego kita, cuba lihat balik cara kita berfikir:
Apabila kita berfikir, ego kita suka ikut campur. Idea kita tentu lebih baik. Cara kita berfikir tentu betul. Kalau begini cara kita berfikir, kita tak dapat belajar memperbaiki kemahiran kita berfikir.
4. Apa tujuan kita berfikir?
Semasa berfikir, berhenti sejenak. Tanya pada diri sendiri, apa tujuan asal kita berfikir? Apa yang cuba kita capai? Apa hasil yang kita harapkan? Apa teknik yang kita gunakan? Kalau kita tidak berhenti dan bertanya semula perkara-perkara itu, nanti kita berfikir berputar-putar dan fikiran kita hanyut entah ke mana. Lain tujuan asal kita, lain yang kita fikirkan.
5.Tukar-tukar gear dalam otak kita:
Kita perlu tahu bila masanya kita perlu berfikir secara logik dan bila kita perlu berfikir secara kreatif. seperti waktu kita menaiki motosikal atau memandu kereta, kita akan memilih gear-gear yang sesuai dengan keadaan. Kita tidak naik motorsikal dengan satu gear sepanjang masa
6. Apa hasil pemikiran saya?
Kita mesti menentukan dengan jelas apa hasil yang hendak kita perolehi apabila berfikir. Kalau tidak, nanti sia-sia sahaja kita berfikir. Apakah kita mahu mencari idea alternatif, membuat pilihan dan keputusan, membuat kesimpulan, membuat penilaian atau apa? Kenapa kita yakin hasil pemikiran itu boleh jalan? Cuba fikirkan baik-baik. Setelah habis berfikir, apa yang hendak kita buat? Kita perlu fikirkan tindakan-tindakan lanjut yang akan kita buat.
7.Beri tempat pada emosi dan perasaan:
Dalam logik kita tidak dibenarkan berfikir dengan menggunakan emosi dan perasaan. Ini memang betul, terutama dalam bidang sains dan matematik. Di luar kedua-dua bidang itu, berfikir selalu melibatkan manusia. Oleh yang demikian, emosi dan perasaan menjadi penting. Kita perlu ambil kira emosi dan perasaan orang lain. Oleh itu sewaktu berfikir kita boleh menggunakan emosi dan perasaan kita sendiri. Tetapi jangan gunakan emosi dan perasaan sebelum kita melihat segala alternatif dan kemungkinan. Kalau itu kita lakukan, ia akan menyempitkan persepsi kita. Akibatnya, kita tidak dapat mencari atau mencipta sebanyak-banyak alternatif. Oleh itu fikirkan alternatif-alternatif dahlu, kemudian baru gunakan emosi dan perasaan sewaktu membuat pilihan dan keputusan.
8. Sentiasa fikirkan alternatif lain:
pada setiap masa fikirkan alternatif-alternatif lain, penjelasan-penjelasan lain, tafsiran- tafsiran lain, pendekatan-pendektana lain, tindakan-tindakan lain yang boleh diambil dan seterusnya.
9.Tukar ganti antara berfikir secara luas dan secara terperinci:
Supaya idea kita betul-betul praktikal, iaitu benar-benar boleh jalan, kita perlu memikirkan perkara yang terperinci berkenaan idea itu. Tiap-tiap aspek mesti difikirkan dengan telii supaya betul. Tapi, untuk menerbitkan idea-idea alternatif kita perlu berfikir secara luas dan abstrak. Kita berfikir begini untuk mencipta idea-idea baru, bergerak dari satu idea kepada idea-idea lain, melihat kaitan antara idea-idea yang ada dan menggabung-gabungkan idea- idea itu. Pemikir yang mahir tahu bila masanya kita mesti menukar-nukar antara dua cara berfikir itu.
10. Membezakan antara “yang sepatutnya” dengan “yang mungkin””:
Setiap kali kita percaya sesuatu iu benar kita akan berkata “Ini yang sepatutnya”. Ini cara berfikir logik kerana logik adalah suatu set peraturan. Tetapi logik hanya betul kalau premisnya betul. Kalau premisnya salah, logik yang betul pun tidak berguna kerana premis yang salah menghasilkan kesimpulan yang salah. Kita mesti periksa betul-betul adakah apa yang kita katakan “sepatutnya” benar-benar patut begitu.
11.Perbezaan pendapat dan perbezaan persepsi:
Kita selalu menghadapi keadaan di mana ada beberapa pendapat saling bertentangan. Dalam keadaan begitu, kita selalu berasa, tentu hanya satu daripada pendapat-pendapat saling bertentangan. Dalam keadaan begitu, kita selalu berasa, tentu hanya satu daripada pendapat-pendapat itu yang betul. Lalu kita akan buktikan mana-mana pendapat yang bertentangan sebagai pendapat yang salah. Tapi kita perlu ingat, pendapat-pendapat yang kita katakan salah itu mungkin sama betuinya dengan pendapat kita. Pendapat-pendapat itu mungkin berdasarkan persepsi-persepsi yang berbeza, berdasarkan maklumat- maklumat yang berlainan, juga berdasarkan pengalaman-pengalaman dan nilai-nilai berlainan. Ia juga mungkin berdasarkan perbezaan pada cara kita melihat dunia kita. Inilah punca kita berbahas, berbalah dan berkonflik. Dalam menghadapi perselisihan pendapat, apa yang boleh kita buat ialah kita buat ialah kita letakkan semua pendapat-pendapat itu selari antara satu sama lain dan bandingkan secara objektif.
12. Semua jenis tindakan melibatkan nilai
Ada pemikiran yang tidak berakhir dengan tindakan. Kita hanya berfikir. Contohnya, kita mungkin berfikir tentang perkara-perkara yang tidak melibatkan tindakan. Umpamanya, kita berfikir tentang pemikiran-pemikiran orang lain. Ada pemikiran yang menghasilkan tindakan. Pemikiran yang menghasilkan rancangan, keputusan, pilihan dan idea akan diikuti oleh tindakan. Setiap tindakan akan menerbitkan kesan. Antara kesan-kesan itu ada yang melibatkan manusia lain. Oleh itu ia melibatkan nilai-nilai yang dipengang oleh mereka. Kita perlu memikirkan bagaimana perbuatan dan tindakan kita akan menjejaskan pelbagai nilai-nilai orang lain.